Cara mudah bangun malam

Bangun pada malam hari pada saat mata sedang kantuk, bukan pekerjaan ringan. Apalagi bila untuk beribadah. Pengalaman ini pernah dialami oleh seseorang yang kemudian menyanyakan kepada Hasan, “Hai Abu Sa’id, sesungguhnya saya melewati malam dengan kondisi segar bugar, saya juga telah menyediakan air untuk berwudhu. Tapi mengapa saya sulit bangun?” Jawab Hasan, “Dosa-dosamulah yang telah mengekangmu.”

Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan, “Banyak dari makanan yang menghalangi bangun malam dan banyak dari pandangan yang menghalangi untuk membaca surat,” jelasnya. “Makanan yang haram dan pandangan yang haram dapat menjadi sebab sulit untuk bangun malam,” tambah sang Hujjatul Islam itu.

Beberapa catatan adab di bawah ini barangkali bisa membantu memudahkan kita bangun dan istiqamah.

1. Keinginan yang kuat

Bila ingin shalat malam (shalat lail), tumbuhkan keinginan yang kuat (niat) dari dalam diri untuk bangun, sebelum menuju pembaringan. Peliharalah niat itu dan kuatkan kembali hingga mata terpejam. Rasulullah saw bersabda. “Barangsiapa yang akan tidur berniat untuk bangun shalat tahajjud, kemudian ketiduran hingga pagi hari, maka dicatatnya niat itu sebagai satu pahala, sedang tidurnya itu dianggap sebagai karunia dari Allah yang diberikan padanya.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad yang shah)

2. Putuskan mimpi dan melihat langit

Bila sudah terjaga, jangan berikan kesempatan kepada syaitan untuk menghalangi kita dengan menelusuri mimpi-mimpi yang baru saja dialami. “Putuskanlah mimpi-mimpi seperti itu dan bergegaslah meninggalkan pembaringan.” pesan Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Sebelum menunaikan shalat disunnatkan keluar melihat langit dan bintang-bintang sambil berdoa sebagaimana diucapkan oleh Rasulullah saw, “Tiada Tuhan melainkan Engkau, Maha Suci Engkau, saya mohon ampun kepadaMu dan saya mohon pula rahmat-Mu. Ya Allah tambahlah pengetahuanku dan janganlah Engkau belokkan hatiku, sesudah Engkau beri hidayat padaku. Berikanlah rahmat dari sisi-Mu karena Engkau Maha Pemberi. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan saya kembali sesudah mematikan saya dan pada-Nya pula tempat kembali.”

3. Dari yang ringan

Sebaiknya shalat tahajjud dimulai dengan mengerjakan dua rakaat yang ringan, selanjutnya kerjakan sesuka hati. Dari Aisyah katanya, “Rasulullah saw itu apabila bangun malam untuk shalat, beliau memulainya dengan dua rakaat yang ringan.” Begitupun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, beliau saw bersabda, “Apabila seseorang di antaramu bangun malam, maka hendaklah memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan.”

4. Bangunkan keluarga

Bila sudah bangun, jangan lupa untuk membangunkan juga sanak keluarga. Rasulullah saw pernah membangunkan Ali bin Abi Thalib, menantunya, untuk shalat lail seperti tercatat dalam sebuah hadits dari Ali ra, “Bahwa Rasulullah saw pada suatu malam pengetok pintunya. Waktu itu ia tidur bersama Fatimah, istrinya. Beliau saw bersabda, “Apakah engkau berdua tidak bangun untuk shalat?”

Dalam haditsnya yang lain dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda: “Allah memberikan rahmat kepada lelaki yang bangun malam untuk shalat lalu membangunkan pula istrinya dan apabila istrinya itu menolak lalu memercikkannya air di mukanya. Allah juga memberikan rahmat-Nya kepada seorang perempuan yang bangun malam untuk shalat lalu membangunkan pula suaminya dan apabila suaminya menolak lalu dipercikkannya air di mukanya.”

Empat hal lain yang sebaiknya dilakukan agar kita mudah bangun malam menurut Imam Ghazali antara lain adalah: tidak terlalu banyak makan dan minum, kurangi kegiatan yang mengundang rasa lelah baik fisik maupun sprikis, sisihkan waktu sebentar di siang hari menjelang shalat dhuhur untuk qailullah (tidur sejenak) dan terakhir, meminimalisir kegiatan yang mengandung dosa karena hal itu mengundang kerasnya hati, rasa malas dan memutus rahmat-Nya.

http://www.geocities.com/fski97/

Berlomba-lomba untuk akhirat

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu (Al-Abrar) benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin: 22-26) Merupakan kecenderungan manusia bahwa ia ingin unggul atas orang lain dan berada pada posisi yang lebih tinggi atau lebih baik dalam kehidupannya. Jika kecenderungan ini tidak diarahkan, maka manusia cenderung melampiaskannya dalam urusan dunia dengan menghalalkan segala cara. Ayat ini ingin memberi gambaran tentang semangat berlomba yang benar yang ditunjukkan oleh orang-orang Abrar dalam urusan akhirat. Makanya secara korelatif, ayat di atas merupakan jawaban dan arahan Allah agar potensi dan semangat untuk mengungguli orang lain hendaknya diarahkan pada urusan akhirat. Dimana sebelumnya di awal surah Al-Muthaffifin, Allah menggambarkan semangat berlomba-lomba yang ditunjukkan oleh orang-orang yang curang dalam urusan dunia sampai mereka tega berlaku culas dan menzhalimi orang lain demi meraih keuntungan yang besar. Allah mengancam perilaku mereka dengan kecelakaan yang besar di akhirat kelak dan mendapat gelar buruk Al-Muthaffifin. “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Al-Muthaffifin: 1-3) Berdasarkan analisa maknanya, ayat ini menurut Ibnu Katsir senada dengan dua ayat lainnya dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah yang bermaksud, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar” (Al-Ma’idah: 119), dan firman Allah, “Sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (Ash-Shaffat: 60-61). Kedua ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan dan kemenangan yang besar adalah dengan meraih surga Allah SWT. Dan hanya untuk meraih penghargaan itu, manusia memang diperintahkan untuk berlomba-lomba. Menurut Ath-Thabari, sifat berlomba dalam urusan akhirat merupakan sifat puncak dan tertinggi dari orang-orang yang berbakti (Al-Abrar). Ia menjelaskan dalam tafsirnya, “Dan untuk meraih kenikmatan yang dicapai oleh orang-orang Abrar seperti yang digambarkan dalam ayat ini, hendaklah manusia berlomba-lomba. Dan berlomba tentunya dalam hal-hal yang bernilai dan berharga, bukan dalam urusan yang kecil atau sepele. Dan itulah asal arti kata “Al-Munafasah” yang berasal dari kata “nafis” yaitu hal yang bernilai dan berharga dan sangat menarik dan banyak dikejar oleh manusia. Makanya Muhammad Abduh menarik kesimpulan bahwa untuk kenikmatan yang tidak terhingga tersebut manusia sepatutnya tidak boleh mengalah dan harus berusaha lebih baik dan lebih dahulu dari orang lain. Berdasarkan analisa bahasa menurut Al-Alusi, didahulukannya objek “Dan untuk yang demikian itu” atas perintah berlomba-lomba adalah untuk menarik perhatian atau sebagai batasan bahwa hanya untuk urusan akhirat hendaknya orang-orang itu berlomba-lomba, tidak untuk urusan yang lainnya. Apalagi perintah dalam ayat ini – menurut Ibnu Asyur – menggunakan “Lamul Amr” (huruf lam yang menunjukkan perintah) yang tidak digunakan kecuali untuk perintah yang sangat dituntut dan dianjurkan. Secara hukum berdasarkan objeknya menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, berlomba dapat dibagi menjadi tiga: * pertama, berlomba yang terpuji, yaitu dalam urusan amal ketaatan (akhirat); * kedua, berlomba yang tercela, yaitu dalam urusan kemaksiatan; * dan ketiga, berlomba yang dibenarkan, yaitu dalam hal-hal yang mubah. Dan memang perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan merupakan benteng dari perilaku berlomba-lomba dalam kemaksiatan dan urusan dunia, karena demikian kecenderungan manusia akan berlomba mengejar kenikmatan dunia yang menggiurkan seperti yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya sepertimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya.” (Bukhari dan Muslim) Pada realitasnya menurut Sayyid Qutb, tidak ada kebaikan sedikitpun pada tindakan dan perilaku berlomba-lomba dalam usaha mengejar dunia, bahkan sebaliknya justru akan menimbulkan konflik, kerusakan dan huru hara di atas muka bumi ini. Sedangkan sebaliknya, berlomba-lomba untuk meraih apa yang disediakan Allah SWT akan mampu mengangkat dan membersihkan diri manusia. Karena bagaimananapun kenikmatan dunia itu hanya berlangsung sesaat dan sangat cepat sirna. Manakala apa yang ada di sisi Allah akan kekal dan berlangsung tanpa batas. “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96) Pada tataran aplikasinya, ayat di atas dan ayat yang semakna dengannya merupakan motivasi terbesar bagi para sahabat dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT sehingga mereka senantiasa berlomba dan ingin lebih dahulu melakukan kebaikan dibanding saudaranya yang lain. Sebut saja misalnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra. Ketika pada suatu hari Rasulullah SAW meminta para sahabatnya untuk menginfakkan apa yang dimilikinya dari harta, makanan dan senjata yang bisa dimanfaatkan dalam perang. Maka spontan Umar bin Khattab berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan mendahului Abu Bakar dalam kebaikan ini.” Umar yakin bahwa dirinya mampu menginfakkan lebih baik dari Abu Bakar. Kemudian ia membagikan hartanya menjadi dua bagian; satu bagian untuk keluarganya dan satu bagian lagi diserahkan untuk Rasulullah SAW. Rasulullah tersenyum bangga melihat perilaku sahabatnya dan memujinya. Namun tidak berapa lama kemudian, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah tersenyum bangga seraya bertanya kepadanya, “Lantas apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Dengan yakin dan penuh tawakkal, Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Demikianlah sikap orang-orang Abrar dari para sahabat terkemuka Rasulullah SAW. Allah memuji mereka dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” (Al-Waqi’ah: 10-14). Demikianlah berlomba-lomba untuk meraih surga Allah adalah dengan bersegera melakukan kebaikan dan ketaatan, karena setiap muslim memang dituntut untuk berpacu membuka pintu-pintu kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT. DR. Ahmad Asy-Syirbashi menuturkan tadabburnya terhadap ayat di atas dalam bukunya “Mausu’at Akhlaqul Qur’an”, bahwa sekarang ini manusia cenderung berbangga dan berlomba agar lebih kaya dari orang lain, lebih kuat, atau lebih tinggi kedudukannya daripada orang lain dan seterusnya. Mereka terus berbangga dan mengejar urusan duniawi dan hal-hal yang terbatas lainnya dengan penuh kesungguhan dan usaha yang maksimal. Padahal berbangga dengan hal-hal seperti ini sangat jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan sikap orang-orang Abrar yang mendapat pujian Allah SWT dan diabadikan kisahnya untuk dijadikan teladan. Saatnya untuk menjadikan ayat di atas dan petunjuk Allah lainnya sebagai motivasi untuk berlomba meraih kenikmatan yang terbesar dengan ikut menjadi peserta yang terdepan dalam setiap ajang lomba kebaikan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya. Semoga implementasi ayat tersebut di atas mewarnai setiap langkah kehidupan kita agar terhindar dari perlombaan meraih kenikmatan duniawi yang cenderung mengabaikan orang lain dan terkadang merampas hak-hak mereka.

Ka’bah

Ka’bah adalah bangunan suci kaum Muslim yang terletak di kota Mekkah di dalam Masjidil Haram. Merupakan bangunan yang dijadikan patokan arah kiblat atau arah patokan untuk hal hal yang bersifat ibadah bagi umat Islam di seluruh dunia seperti sholat. Selain itu, merupakan bangunan yang wajib dikunjungi atau diziarahi pada saat musim haji dan umrah.

Bangunan berbentuk kubus ini berukuran 12 x 10 x 15 meter. Juga disebut dengan nama Baitallah.

Sejarah perkembangan

Ka’bah yang juga dinamakan Baitul Atiq atau rumah tua adalah bangunan yang dibangun pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail setelah nabi Ismail berada di mekkah atas perintah Allah SWT.

Pada masa Nabi Muhammad SAW berusia 30 tahun (Kira kira 600 M dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu), bangunan ini direnovasi kembali akibat bajir bandang yang melanda kota Mekkah pada saat itu. Sempat terjadi perselisihan antar kepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali batu Hajar Aswad namun berkat penyelesaian Muhammad SAW perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan tanpa ada pihak yang dirugikan.

Pada saat menjelang Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah. Lingkungan Ka’bah penuh dengan patung yang merupakan perwujudan Tuhan bangsa Arab ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah) padahal sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan bangsa yahudi serta ajaran Nabi Musa terhadap kaum Yahudi, Tuhan tidak boleh disembah dengan diserupakan dengan benda atau makhluk apapun dan tidak memiliki perantara untuk menyembahnya serta tunggal tidak ada yang menyerupainya dan tidak beranak dan diperanakkan (Surat Al-Ikhlas dalam Al-Qur’an) . Ka’bah akhirnya dibersihkan dari patung patung ketika Nabi Muhammad mebebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah.

Selanjutnya bangunan ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci ka’bah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan baik pemerintahan khalifah Abu Bakar,Unar bin Khatab, Utsman bin Affan,Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan arab saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekkah dan Madinah.

Bangunan Ka’bah

Pada awalnya bangunan Ka’bah terdiri atas dua pintu serta letak pintu ka’bah terletak diatas tanah , tidak seperti sekarang yang pintunya terletak agak tinggi sebagaimana pondasi yang dibuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Namun ketika Renovasi Ka’bah akibat bencana banjir pada saat Muhammad SAW berusia 30 tahun dan sebelum diangkat menjadi rasul, karena merenovasi ka’bah sebagai bangunan suci harus menggunakan harta yang halal dan bersih, sehingga pada saat itu terjadi kekurangan biaya. Maka bangunan ka’bah dibuat hanya satu pintu serta ada bagian ka’bah yang tidak dimasukkan ke dalam bangunan ka’bah yang dinamakan Hijir Ismail yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi ka’bah. Saat itu pintunya dibuat tinggi letaknya agar hanya pemuka suku Quraisy yang bisa memasukinya. Karena suku Quraisy merupakan suku atau kabilah yang sangat dimuliakan oleh bangsa Arab.

Karena kaumnya baru saja masuk Islam, maka Nabi Muhammad SAW mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali ka’bah sehinggas ditulis dalam sebuah hadits perkataan beliau: “Andaikata kaumku bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan Aku turunkan pintu ka’bah dan dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail kedalam Ka’bah”, sebagaimana pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.

Ketika masa Abdurrahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, bangunan itu dibuat sebagaimana perkataan Nabi Muhammad SAW atas pondasi Nabi Ibrahim. Namun karena terjadi peperangan dengan Abdul Malik Bin Marwan, penguasa daerah Syam (Suriah,Yordania dan Lebanon sekarang) dan Palestina, terjadi kebakaran pada Ka’bah akibat tembakan peluru pelontar (onager) yang dimiliki pasukan Syam. Sehingga Abdul Malik bin Marwan yang kemudian menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Ka’bah berdasarkan bangunan hasil renovasi Nabi Muhammad SAW pada usia 30 tahun bukan berdasarkan pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Dalam sejarahnya Ka’bah beberapa kali mengalami kerusakan sebagai akibat dari peperangan dan umur bangunan.

Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi kembali ka’bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi Muhammad SAW. namun segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka yakni Imam Malik karena dikhawatirkan nanti bangunan suci itu dijadikan ajang bongkar pasang para penguasa sesudah beliau. Sehingga bangunan Ka’bah tetap sesuai masa renovasi khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai sekarang.